NASKAH TANI


Naskah Tani

Sebuah naskah yang mengajak untuk lebih memahami dan menghormati pekerjaan mulia “Tani” 


PENDAHULUAN

Tani sudah menjadi keseharian hampir sebagaian besar masyarakat Kediri. Di setiap harinya, para pekerja tani berangkat di pagi hari dan pulang sebelum matahari beranjak tepat di atas kepala mereka. Para pekerja tani kembali lagi ke sawah setelah dhuhur atau setelah ashar. Tani adalah suatu bentuk aktivitas bagi mereka yang bekerja kepada orang yang punya lahan/sawah atau memang bekerja untuk lahan/sawah mereka sendiri.

Naskah ini menceritakan 4 orang petani yang bersama sama menggarap tanah milik seseorang bernama Pak Rebo. Mereka sudah lama menjadi pekerja tetap di sawah Pak Rebo. Bahkan, Pak Rebo sudah menganggap mereka seperti keluarga sendiri. Mereka sudah bersama dalam jatuh bangunnya Pak Rebo ketika prosesnya bertani. Ketika Pak Rebo panen, tentulah ke empat petani ini mendapat hasil panennya juga. Namun, jika tidak panen, Pak Rebo akan tetap memberikan upah seperti biasanya. Pak Rebo terkenal orang yang baik dan dermawan.

Sekarang ini, lahan sawah yang mereka tanami sudah tidak sesubur dahulu lagi. Penghasilan panen selalu menurun. Musim yang seharusnya penghujan malah yang terjadi panas tak berkesudahan. Hama yang datang juga tidak terkendali. Kegigihan dalam bertani mereka sedang diuji yang akhirnya menyebabkan emosi marah dan capek yang mereka pendam selama ini keluar dari diri mereka. Tetua adat sebagai sesepuh desa yang penuh keteduhan datang dan memberikan petuah kepada mereka termasuk kita semua. Tanpa dirasa Tuhan memberi berkah dan balasan atas kegigihan para petani tersebut. Hujan turun membasahi sawah sawah mereka. Rasa suka ria terpancar dari wajah para petani itu.

Tujuan dari pementasan ini adalah untuk menyampaikan pesan bahwa Tani harus terus tegak lestari karena Tani sebagai penopang pangan negeri ini. Mengajak penonton untuk ikut

meraba isi pesan yang disampaikan dan harapanya adalah kita bisa lebih menghormati dan menghargai pekerjaan yang sering kali di remehkan oleh banyak orang yakni adalah Petani (TANI adalah penyebutan khas orang desa)     

Naskah ini juga menonjolkan logat dan bahasa khas Kediri untuk lebih mengenalkan kepada khalayak ramai tentang ciri khas yang ada di suatu daerah.  

Semua kesamaan tokoh, alur dan cerita hanyalah ketidaksengajaan.  

Aktor:

Jiah  : Petani

Tukini: Petani

Kasmirah : Petani

Tukiyem : Petani

Pak Rebo : Pembajak sawah sekalian pemilik sawah

Eyang Legi : Tetua Adat

 

Setting Latar Tempat :

Persawahan yang memasuki musim tanam. Terdapat beberapa properti persawahan seperti rumput/ tanaman, dll (Jika ada). Latar waktu pagi menjelang siang.

 

Backsound :

Suara seruling asmaradhana atau tembang jawa, Lagu campursari Konco Tani Manthous, Suara Genta (lonceng), dan Musik suasana. 

 

-Satu-

Jiah  berada di tengah panggung sebelum lampu menyala. Dengan aktivitasnya yang sedang berada di sawah, lampu perlahan menyala dan menyorot Jiah  dengan backsound seruling desa yang mengiringi. Setelah itu Tukini dan Kasmirah masuk.

Tukini: Sepurane ya yu, rodok telat. Iseh masakne bojoku.     

Kasmirah: Tapi, masih sendirian aja to yu Jiah ? La Tukiyem kemana?

Jiah  : oalah, sudah yuu.... sudahh..... langsung nyambut gawe mawon. Nanti malah keburu panas! Tukiyem mungkin sebentar lagi datang.

Mereka beraktivitas di sawah. Tukiyem datang sambil memandangi tukini, Jiah  dan Kasmirah seperti layaknya mandor.

Tukiyem: YO NGONO, DADI WONG TANI IKI SING SREGEP....

Tukini: Tak bilangi ya yu Tukiyem.... kita itu wong cilik. Jadi tidak usah berlagak mandor seperti itu.

Kasmirah: kamu itu selalu begitu yu, mbok ya sadar diri. Ora usah kakean polah.

Tukini: Biarin saja, biar nanti tidak di kasih upah sama yang punya sawah!

Jiah : Oalah, sampun yu..... sampun...... , langsung nyambut gawe mawon.

Tukiyem malah duduk duduk sambil minum dan melihat kawan kawannya. Sambil nerocos

Oalah yu... yu... kalian ini lo.... apa tidak capek. Pagi ke sawah, sore ke sawah. Lihat kulitmu yang seharusnya putih menjadi hitam. Tapi ya apa daya. Dari sekian teman teman kita dulu, yang mau kembali ke sawah hanya kita. Ya bagaimana lagi? Lawong ya panas kayak gini, belum lagi kulit sering gatal, boyok rasane protol. Dan juga hasil panen yang tidak bisa di janjikan. Haahhhhh.

Kasmirah : weladalah kok malah curhat, mengko lek nggak ndang nyambut gawe di seneni........ (suaranya langsung merendah)

Pak Rebo datang dengan membawa rantang sarapan dan berdiri berada di belakang Tukiyem seraya melihatnya bertingkah.

Tukiyem: sopo? Sopo? Sopo sing nyeneni aku. Siapa yang akan memarahi aku? Hahaha kenalin ini.... aku Tukiyem (sambil menunjuk diri) HAHAHA

Tukini: Tsuutt heh.... Yemmmmm

Jiah  : Yu... Yu yemmm

Jiah  langsung menyeret Tukiyem untuk minggir.

Tukiyem : Eh pak... e.... anu..... tadi..... ee maaf nggih Pak Rebo

Jiah : Oalah, sudah yu... sudahh.....langsung nyambut gawe mawon  

Rebo: Udah gpp, Ini sarapan dulu. Namanya tani ya begitu, nggak usah di buat tegang dan silit. Eh sulit. Di sambi guyonan kayak tadi juga gak papa. Eh tadi akting kamu bagus lo yem. (sambil menunjuk Tukiyem) harusnya kamu jadi anak teater aja. Kok malah jadi petani.

Tukiyem: Yo ndak papa jadi petani, malahan nanti kalo saya jadi anak teater beneran kan bisa menyampaikan keluh kesah petani lewat teater to pak!

Rebo: Bener, bener itu. Memang panggung kesenian di desa kita juga sudah lama mati. Ya kamu saja yang menghidupkan kembali.

Kasmirah: Wes, mulai berlagak lagi itu si Tukiyem

Tukini: Tapi yo memang pantes iku si Tukiyem. Hooh yem, segera buat naskah. Jangan lupa, kami di masukan dalam naskahmu hehehe.   

Jiah  : Oalah, sudah yu...... sudahh......

Dengan serempak tukini, Tukiyem dan Kasmirah langsung menjawab : langsung nyambut gawe mawon.........

Jiah  (tersemyum agak malu): Langsung makan mawon hehehe (sambil menunjuk ke ratang)

Rebo: oh iya, ini sarapanya segera di makan. Rantangnya di bukak.

Sembari ke empat petani menyiapakan makanan, Pak Rebo merenung  

Hahhhh (menarik nafas dalam) kalian ngerasa atau tidak? Kita selama ini menanam tapi kok hasil panen tidak pernah maksimal. Malah lebih sering gagalnya. Tahun kemarin, waktu tanamannya sedang buaaagus bagusnya mak bedunduk Corona datang. Kita mulai bangkit lagi perlahan. Menanam lagi, eh panas terus tak kunjung hujan. Sungai sungai untuk pengairan sawah kering. Kemarin saya juga sempat membuat sumur bor, malah sumurnya juga kering. Waktunya musim hujan terkadang malah panas, waktunya musim panas eh malah hujan.

Hahhh

Mau sampai kapan kita seperti ini. belum lagi hama kadang datang tidak terkendali. Saya sampai bingung, nanti kalau hasil tahun ini menurun juga. Bagaimana saya bisa memberikan kalian upah. Untuk menekan biaya, akhire aku yo melu tani. Tak melu tandang gawe dewe.

Tapi ojo lali. Kabeh penggawean diniati ngibadah. Semua pekerjaan di niatkan untuk ibadah. Termasuk tani. Semua yang di niatkan ibadah dan ikhlas karena Allah, maka pahala akan menanti kita.

Bayangkan dalam perjalanan hidup kita, dimulai dari peran kita sebagai petani yang bekerja keras untuk menanam dan panen hasil bumi. Setelah itu, kita membawa hasil panen kita ke pasar untuk dijual kepada penjual. Di pasar, para pembeli datang untuk membeli hasil panen kita. Mereka membawa pulang hasil panen tersebut untuk dimasak dan dihidangkan bersama keluarga mereka. Bayangkan jika kita dan orang-orang lainnya berhenti bertani? Tentu, dampaknya akan terasa luas. Seperti pasar akan kehilangan pasokan bahan makanan segar dari petani, dan jika hal ini terjadi maka kesehatan masyarakat juga dapat terganggu karena kurangnya akses terhadap bahan makanan segar dan berkualitas. Oleh karena itu, perlu dihargai dan didukung upaya petani dalam memproduksi bahan makanan yang berkualitas untuk keberlangsungan hidup kita semua.

Ya sudah, itu buat pandangan saja buat kalian. Setelah ini lanjutkan saja tani nya. saya tak ambil cangkul dulu. Semoga setelah ini hujan, dan hasil tanam kita segera terbasahi dan menjadi subur olehnya.  

Pak Rebo keluar dan di ikuti oleh redupnya lampu hingga lampu mati.

 

-Dua-
(Suatu Penggambaran)

 

Sebelum lampu menyala. Pak Rebo sudah berada di panggung dan berlajan dengan aktivitas cangkulnya (slowmo). Suara genta (lonceng) sebagai backsound mulai berbunyi. Lampu kembali perlahan menyala dan menerangi aktivitasnya.

Disusul 4 orang petani wanita melakukan gerakan intensitas dan menggambarkan bagaimana kegiatan tani itu berlangsung (gejik, ulur winih atau menanam biji). Setelah itu, gerakan tanam mereka berubah dan menggambarkan perasaan bahwa apa yang mereka tanam tidak pernah menuai hasil yang signifikan. Ke empat petani tersebut bingung kenapa tanah tidak subur seperti dahulu kala.

(Gerakan intensitas tersebut merupakan gerakan yang memiliki nilai estetika dan indah di pandang. Di iringi dengan dengan suara genta (lonceng). Suara lonceng ini biasa di gunakan oleh pendeta umat hindu untuk peribadatan dan sebagai sarana pengusir roh roh jahat atau pemanggil dewa) 

Pak Rebo berjalan perlahan dengan membawa cangkulnya. Mengkplorasi gerak mencangkul petani slowmo. Berkeliling mengksplorasi panggung. Sedangkan keempat perempuan tetap menjalankan eksplorasi geraknya.

Lama melakukan proses tani tersebut, suasana yang panas membuat Pak Rebo mulai tersulut emosi marah dan capek karena teringat dahulu melakukan hal yang sama seperti ini berkali kali tapi hasil tidak pernah panen. Dia juga mulai bingung dan harus mencangkul dan bertani seperti apa lagi agar tanah persawahan bisa kembali subur.

(suara genta mulai cepat disambung musik gaduh. Suara genta berhenti)

*Lampu berganti merah dan berkelip kelip

(Bom waktu kemarahan mulai muncul) Pak Rebo lari tanpa arah bersama alatnya. Ke empat petani mulai mempecepat intensitasnya. Teriakan amarah, kekesalan dan kebuntuan semua dikeluarkan hingga suasana tak terkendali. Mereka terkapar karena kecapekan *Musik menyesuaikan suasana.

.

*lampu mati

 

-Tiga-

 

Lampu merah menyala. Masuk tetua adat. Membawa dupa dan kendi yang berisi air. Berjalan mengelilingi dan melihat para petani dan Pak Rebo yang terkapar. Berjalan sambil melantunkan tembang macapat maskumambang “duh gusti”.      

Aduh gusti kang maha welas lan asih (Ya Tuhan yang maha penyayang dan pengasih)

Paringono kawelasan ( berilah kasih sayang)

Ingkang hanandang prihatin ( yang sedang berduka)

Pejah gesang ing kawula (Hidup dan mati saya)

Nadyan silih bapa biyung kaki nini ( meskipun bapak ibu kakek nenek)

Sadulur myang sanak (sanak saudarannya)

Kalamun muruk tan becik (kalau mengajarkan yang tidak baik)

Nora pantes yen den nuta (Tidak pantas kalau di tiru)  

-------------- dilanjutkan dengan memberikan petuah

Tanah tanah ini seharunya sudah mati. Sudah tidak bisa di tanami. Rusak karena ulah kalian sendiri (menunjuk ke penonton). Pestisidamu merusak tanah tanah itu sendiri dan meracuninya secara perlahan. Sungai sebagai pengairan sawah sudah tercemar oleh orang yang sengaja membuang sampah mereka di sungai. Pantas saja jika sungai sekarang tidak mau mengalir lagi. Sedangkan hama hama datang dengan membawa pasukan, sengaja untuk menguji kesabaran kalian.

Agar kalian selalu ingat dari mana semua ujian ini berasal dan kemana semua ujian ini kembali. ‘

Agar kalian ingat dari mana kalian berasal dan kemana kalian harus kembali. (di tekankan intonasi)

Berjalan dan menyiram satu persatu dengan kendi, mulai Pak Rebo dan ke empat petani tersebut.  

mereka ini adalah permata yang akan bersinar di esok hari. Tiada sinar rembulan yang terpancar lebih terang daripada raut wajah mereka ketika pulang. Raut wajah orang orang yang menjadikan pekerjaan mereka sebagai jalan ibadah kepada Tuhan.

Berkat tetesan tetesan keringat merekalah tanah ini subur kembali. Tinggal menunggu waktu, awan mendung akan memayungi mereka, awan akan menyiramkan airnya ke lahan lahan mereka. Biarkan mereka bersuka. Biarkan mereka mendapatkan hasil dari jerih payahnya selama ini.

Tetua adat menghentakan kakinya ke bumi sebanyak 3 kali. Genta berbunyi lagi. Ke 5 orang bangun perlahan. Tetua adat keluar panggung. Lampu merah berganti ke kuning. 

 

-Empat-

 

*Terdengar gemuruh hujan

Kelima orang bersuka ria tak terhingga. Bersujud syukur atas berkah dari Hyang Kuasa.

*Backsound “konco tani manthous”

Dengan bersuka ria, kelima orang menari bahagia sambil melihat sawahnya yang diguyur oleh hujan.

 

 

-Penutup-

(Pada pertengahan lagu konco tani)

 

Pak Rebo : Ayohhh kabeh podo lauttt, ayo... semua pada pulang.......

Jiah : Ayo sedaya lauttt..... Lautt..... lautt...... (mereka keluar satu persatu)

Aktor lain: ayoooo ......

“Laut” adalah kata khas jawa / Kediri yang dipakai untuk menandakan kalau waktu bekerja sudah saatnya selesai.  

 

Posting Komentar

0 Komentar